Libur
sekolah telah selesai, anak-anak sekolah harus bersiap kembali ke sekolah
dengan segala cerita dan unek-uneknya. Namaku Roto dalam bahasa jawa artinya
Rata entah mengapa orang tuaku memberi nama itu, tapi mungkin harapan orang tuaku,
hidupku menjadi rata tanpa ada hambatan. Namun sepertinya doa itu belum
terkabul juga karena aku sering merasakan keapesan yang tak jarang. Kalau pun
bukan aku yang mengalami keapesan tetap saja seringkali jika ada aku, keapesan
itu terjadi.
Aku
tergopoh-gopoh memasuki kelas sambil membawa helm abu-abu kesayanganku. Sebentar
lagi bel sekolah berdengung panjang pertanda seluruh siswa harus sudah duduk
manis di dalam kelas. Langsung aku menuju bagian belakang kelas, tempat
lemari helm bersemayam di sana.
Di sekolahku setiap kelas memang disediakan satu
lemari untuk menyimpan berkas. Namun
sepertinya lemari itu sudah beralih fungsi sebagai penyimpanan helm para
siswa. Sudah banyak kasus kehilangan helm yang terjadi di sekolahku, karena
itulah kami tidak mau mengambil resiko dengan membiarkan helm kami berada di
motor.
Aku menatap lemari itu dengan bingung, tak biasanya
lemari itu penuh dengan helm. Kalaupun full
biasanya aku tetap dapat tempat. Hanya beberapa anak yang membawa helmnya ke
kelas.
Kulihat ada satu helm asing yang
sudah nangkring di laci kedua tempat
biasa aku meletakkan helm. Helm itu berwarna putih dengan hiasan-hiasan koran
yang seolah-olah ditempel di helm itu, kalau dilihat sekilas sih memang seperti
koran tetapi kalau diperhatikan dengan seksama, ternyata itu gambar tengkorak.
Gubrak!!
“Ini helm siapa yaa??” tanyaku
bertepatan dengan bel sekolah yang akhirnya
berbunyi. Beberapa temanku yang baru saja dari
kantin memasuki kelas. Kuulangi sekali lagi pertanyaanku karena tak ada
sahutan.
Teman sebangkuku melihat ke arahku.
Ia baru saja datang dari kantin untuk sarapan. Sambil cengar-cengir Ia
mengangkat tangannya tanpa bersuara. Aku
langsung sadar kalau itu helmnya. Kutaruh helmku
dilantai tak peduli dengan tempat helmku
yang sudah ditempati. Aku berjalan kearahnya sekaligus juga menempati bangkuku.
“Cieeee… helm baru nih El,” godaku padanya. Aku
tak tersinggung tempat mangkal helmku diambil olehnya. Pendatang baru harus
dihormati. Ceilaah..
“Ah enggak kok.., baru lihat kali. Belinya udah dari
kemarin,” katanya merendah.
Aku hanya tersenyum jahil. El pasang
tampang cuek walaupun sebenarnya dalam hati Ia senang karena helm barunya aku
perhatikan. Aku bertanya-tanya padanya mengenai helm itu, belinya dimana,
harganya berapa, kenapa pilih itu, dan semua jawabannya adalah senyum dan diam.
El ini
memang sok cool sekali. Akhirnya aku lelah sendiri karena tidak ada sahutan
jawaban dari dirinya. Tetapi aku tidak tersinggung dengan sikap El itu, karena
dia memang orangnya seperti itu.
Aku
memainkan jemari tangan kananku dan mengetuk-ngetukkannya di meja. Sedangkan tangan
kiriku hanya bertopang dagu. Ini sudah satu jam
dari jeritan bel masuk sekolah, tetapi belum ada tanda-tanda wali kelas kami
yang juga mengajar agama Islam masuk ke dalam kelas. El akhirnya berinisiatif ke
kantor memanggil wali kelas kami.
Ia kembali tanpa membawa seseorang,
“Bu Lia sedang opname di rumah sakit, sudah dua minggu ini beliau di rawat.
Katanya habis operasi,” katanya memberi
pengumuman kepada seisi kelas.
Semua teman terkejut dan khawatir.
Wali kelas kami tercinta. Walaupun bawel dan galak tetapi beliau sangat sayang
kepada kami semua. Justru jika tak pernah memarahi kami berarti beliau sudah tak sayang dan
tak peduli pada kami.
Akhirnya kami sekelas berencana
menjenguk Bu Lia sepulang sekolah. Supaya aman terkendali, kami menyewa angkot
yang sering lalu lalang di depan sekolah kami, namun ternyata kapasitas mobil
angkot tidak cukup untuk menampung
semuanya. Semua anak cowok memilih naik motor termasuk aku dan El.
Sampai di rumah sakit, kami melihat
wali kelas kami terbaring dengan ceria. Tak ada wajah kesakitan ataupun lemah,
bahkan beliau dengan santai memainkan infus yang tentu
saja hanya suster yang boleh menghentikan atau mengalirkan cairan infus. Bu Lia menjalani operasi pengangkatan daging yang tumbuh
di bagian perutnya dan ternyata Bu Lia sudah
masuk rumah sakit sejak kami libur sekolah, tapi tak ada warga sekolah yang
mengetahuinya. Baru ketika masa libur
sekolah berakhir karena Bu Lia terus-menerus tidak masuk
akhirnya semua orang tahu kalau Bu Lia masuk rumah sakit.
Hari mulai gelap menjelang waktu
maghrib. Kami berpamitan pulang pada Bu Lia dan berharap beliau segera sembuh.
Aku dan El berpisah dengan
teman-teman yang lain, kami berjalan menuju tempat parkiran motor.
Kali ini giliran aku yang berada di
depan menyetir motor. Saat kami sampai di motor, ada sesuatu yang janggal. Helm
koran El menghilang. Ada bekas
jok yang baru saja di sobek tempat tadi El
meletakkan helmnya di dalam jok. Helm El dicuri.
Kami berdua panik. Bertanya pada
petugas pun mereka tak peduli, pandangan mereka mengatakan, urus saja helmmu
sendiri, Kami tidak bertanggung jawab atas kehilangan helm. Aku kasihan pada El yang hanya bisa
terdiam pasrah. Bagaimana
bisa pulang tanpa membawa helm, teman-temanku juga rumahnya jauh dari tempat
itu.
“Gimana ini enaknya? Apa mau nerobos
aja?” tanyaku pada El.
Ia tampak berpikir dan akhirnya hanya bisa mengangguk. Kulihat angkot
teman-teman kami baru saja keluar dari tempat parkir. Kami berdua melambaikan tangan pada mereka.
El
memandang dengan pandangan terkejut, “Yah! Kenapa tadi aku nggak bareng angkot
aja, meski sempit kan masih bisa masuk!” katanya menyesal.
Aku juga baru sadar dengan perkataan
El barusan. Oh iya yah,
kalau dia naik angkot kan bisa aman tanpa harus ketakutan jika nanti ada
patroli polisi. Tapi nasi sudah menjadi bubur, angkot itu sudah melenggang
pergi dan hanya menyisakan jejak
aspal pada kami yang kebingungan.
Akhirnya mau tak mau kami berdua
mengendarai motor dengan hanya satu helm yang kupakai. Aku juga was was dengan
hal ini, yang kami lewati merupakan jalan protokol yang tentu saja harus
mengikuti berbagai prosedur keselamatan. Pelan-pelan aku mencoba melewati jalan
yang jarang dilalui oleh polisi.
“Awas To.., ati-ati!!” peringat El. Dia heboh sekali
takut ditangkap polisi. Aku tak kalah takut juga. Tangan ini sudah gemetaran sejak tadi.
Sampai di pusat kotanya Semarang,
simpang lima. Kami tidak melewati daerah simpang lima, tetapi melewati salah
satu dari simpang tersebut, Jl Pahlawan. Untuk sampai di seberang Jl Pahlawan,
kami harus menyebrangi Jl Pahlawan yang banyak polisi berlalu lalang.
Tanpa helm koran El dengan terpaksa Ia
harus berjalan menyebrang jalan dan aku pura-pura naik motor sendirian. Aku melihat kanan-kiri apakah ada polisi yang
memperhatikan kami. El juga berjalan mengendap-endap walaupun tentu saja nampak
terlihat seperti jalan biasa.
Tiba-tiba ada polisi lewat dengan mengendarai sepeda
motor dinasnya. Aku menahan nafas takut dicurigai jika aku baru saja
memboncengkan El yang tak menggunakan helm. Polisi itu benar-benar
menghampiriku yang menjalankan sepeda motor pelan-pelan. El yang melihatku juga
tak kalah panik dan tanpa Ia sadari Ia berdiri mematung.
“Dek standarnya!” kata polisi itu sambil menunjuk besi
yang biasa menopang sepeda motor ketika berhenti agar tetap tegak berdiri.
Aku melongo terkejut sekaligus lega. Si Bapak polisi
ternyata tidak curiga dengan ulahku yang barusan dan nantinya akan terjadi.
Akhirnya El sukses menyebrang, aku menunggu El yang masih berjalan mendekatiku sambil berlari
menggendong tas ranselnya. Kasihan juga Ia, gara-gara helm koran semua ini
terjadi.
“Hehehe.. sorry yaa..,” kataku tulus
padanya.
“Ngapain minta maap. Capcus bro…!!” El sudah menemukan
kembali keceriaannya.
Kami
sampai sekolah dengan selamat. Aku mengambil motorku yang kutitipkan di sekolah
dan El pulang ke rumah tanpa
memakai helm koran-nya yang kini sudah berpindah tangan dengan terpaksa.