Rena memandang Nisyam sengit.
Wajahnya menyiratkan kemarahan tak terkendali setelah melihat kelakuan Nisyam
di papan tulis. Sebuah gambar manusia berwajah kelinci memakai kerudung
terpampang di papan tulis kapur itu. Bagian atas gambar itu nampak jelas sebuah
nama menunjukkan bahwa gambar itu bernama R-E-N-A.
Nisyam
dengan santainya dan tak peduli pada Rena yang hampir menangis. Ia pergi sambil
tertawa-tawa bahagia karena telah membuat Rena malu. Lihat saja, semua teman
sekelas malu-malu menertawai gambar itu. Terutama para anak laki-laki yang
memang hobi meledek anak perempuan.
“Kejaaaaaaam!!!”
teriak Rena sambil melemparkan penghapus ke arah Nisyam yang sudah membelakangi
Rena. Terang saja penghapus itu melayang tepat mengenai punggung Nisyam. Tampak
bekas debu kotak tergambar jelas di punggungnya.
Kali
ini ganti Nisyam yang memandang Rena sengit. Tak terima dengan perlakuan Rena,
Nisyam mengambil penghapus yang ada di meja guru dan melemparkannya ke Rena.
Kena bahu Rena.
“Sukuriiin…!”
ledek Nisyam lalu lari menghindari Rena sambil tertawa-tawa. Nisyam merasa menang
kali ini.
Rena
kesal bukan main. Tak peduli dengan rok panjang yang bisa menghambat larinya.
Ia berlari sambil mengangkat rok hijau identitas sekolahnya. Mengejar Nisyam
yang sudah berlari menuju ruangan di seberang gedung.
Rena
mencoba melemparkan penghapus lagi. Yeah! Tepat terkena di muka Nisyam yang
hitam legam, membuatnya nampak sedikit putih :D
Teman-teman
Rena tidak terima dengan perlakuan Nisyam pada Rena. Mereka ikut membalas Nisyam
dengan lemparan-lemparan kapur. Melihat Nisyam diperlakukan dengan semena-mena
oleh anak perempuan, anak laki-laki pun bahu-membahu membela Nisyam. Terjadilah
baku hantam penghapus dan kapur.
Nisyam
sudah berubah warna putih di sekujur tubuh. Rena hanya sedikit terkena debu
kapur karena kedua penghapus berhasil dikuasai oleh anak perempuan.
“Hiaaaat!!!
Mati kau!! Mati kau!!” teriak Rena penuh dendam. Ia lemparkan lagi
penghapusnya. Kali ini sedikit meleset sehingga hanya menyerempet paha Nisyam.
Tergopoh-gopoh
datang dua orang dewasa dengan panik dan
marah memandang kami semua yang masih saling berusaha memenangkan ego.
“Astaghfirullahaladzim…!!!
Anak-anak!! Hentikan ini!!” teriakannya menggelegar membuat mereka sejenak
membeku.
Bu Tina
wali kelas mereka semua di kelas 3 SD. Semua anak sangat
menghormatinya sebagai guru dan orang tua di sekolah. Tak ada yang berani
membantah ucapannya. Tegas dan terhormat. Begitulah karakternya. Bulir air mata
mulai bermunculan dari pelupuk mata indahnya.
“Anak-anak
Ibu kenapa jadi seperti ini… Anak-anak yang Ibu kenal sangat akur dan saling
memaafkan. Ini bukan anak-anak Ibu… Anak-anak Ibu tidak akan berbuat seperti
ini…,” katanya sesenggukan.
“Nisyam
dulu Bu yang mulai, dia menggambar jelek terus di tulis namaku di situ,” ucap
Rena diikuti anak perempuan lain yang mengiyakan.
“Rena
dulu Bu. Awalnya Rena ngomongin Nisyam di belakang. Dia bilang Nisyam anak aneh,
bodoh, nggak bisa apa-apa. Nisyam mau buktiin kalau Nisyam juga bisa bales
Rena!” bela Nisyam.
“Alaah..
Gitu aja sakit hati. Kayak anak perempuan aja,” cibir Rena.
Nisyam
hendak melayangkan balasan tapi dihentikan oleh Bu Tina.
“Tak ingatkah kalian sudah tiga
tahun bersama? Hanya masalah sepele kalian bermusuhan seperti ini. Memang Ibu
pernah mengajarkan kalian untuk berkelahi?”
Semuanya terdiam tak berusaha
menjawab pertanyaan Bu Tina. “Ibu merasa telah menjadi guru yang gagal mendidik
kalian. Selama ini Ibu mencoba untuk menjadi guru yang berguna, mencontohkan
hal yang baik kepada kalian. Tapi ternyata Ibu belum berhasil, murid Ibu malah
justru berkelahi, tak ada yang mau saling memaafkan.”
Rena berusaha berucap tapi Bu Tina
menatap Rena dengan tatapan memohon untuk mendengarkannya sejenak. “Ibu sering
bercerita tentang idola kita semua, Rasulullah. Beliau tidak pernah membalas
perlakuan buruk yang Ia terima. Rasulullah dengan lapang dada memaafkan mereka.
Bahkan ada orang yang berusaha membunuh Rasulullah tapi Rasul tetap saja
memaafkan orang tersebut. Rasulullah yang nyawanya terancam saja masih bisa
memaafkan, tidak bisakah kalian juga saling memaafkan?”
Anak-anak perempuan mulai saling
sesenggukan. Anak laki-laki menunduk terdiam. Raut wajah mereka menunjukkan
rasa penyesalan yang mendalam. Tak ada yang berani bersuara, hanya suara
tangisan pecah yang terdengar jelas. Bu Tina juga ikut menangis melihat
anak-anaknya yang berbaris di depan saling menyesal.
“Sekarang, saling minta maaf. Tak
boleh ada dendam di antara kalian..,” kata Bu Tina memandangi anak-anak
tercintanya.
Rena dan Nisyam saling minta maaf
diikuti oleh teman-temannya yang lain. Wajah cemberut masih terpampang di keduanya. Tapi demi sang guru mereka mau saling memaafkan. Walau awalnya terpaksa, tapi setelah itu mereka semua kembali tertawa dan bermain bersama. Masa kecil yang unik dan lucu, berantem, menangis, dan kemudian tertawa lagi.
4 coretan:
ya itulah, marahan tp baikan lagi.. dendam hny sedalam got dpan rumah, tp skrg seperti palung sajaa..
eh got rmhqu dlu jg dlem looh.. dlu prnh tenggelem dstu qu.. item smua bdanqu.. *lol
awal keterpaksaan dan akhirnya melupakan pertikaiaan,..
seru..
#blogwalking siang
hai salam hangat sahabat blogger..
makasih udah dibaca.. :)
Posting Komentar