Pages

Selasa, 25 September 2012

[PUISI] Dear Allah #2

Allah...
Aku rela ini terjadi padaku
Asalkan aku bisa lebih dekat denganMu

Allah...
Aku bahagia dengan hidupku
Menjalani sisa usia yang kau berikan untukku

Allah...
Ijinkan aku
Mudahkan aku
Dalam berinteraksi dengan firmanMu

Allah...
Mimpiku sekarang
Jubah terindah kedua orang tuaku
Bahagiakan keduanya dengan kado hafalanku

Allah...
Biarkan merasakan anugerah ini sendiri
Jangan bebani ayah dan ibuku
Jangan berikan duka mendalam pada mereka
Aku hanya ingin melihat mereka tersenyum
Aku hanya ingin membuat mereka bangga
Aku hanya ingin menyenangkan hati keduanya
Hanya itu sekarang mimpiku di dunia
Membahagiakan mereka berdua
Published with Blogger-droid v2.0.4

Sabtu, 22 September 2012

[CERPEN] Helm Koran


            Libur sekolah telah selesai, anak-anak sekolah harus bersiap kembali ke sekolah dengan segala cerita dan unek-uneknya. Namaku Roto dalam bahasa jawa artinya Rata entah mengapa orang tuaku memberi nama itu, tapi mungkin harapan orang tuaku, hidupku menjadi rata tanpa ada hambatan. Namun sepertinya doa itu belum terkabul juga karena aku sering merasakan keapesan yang tak jarang. Kalau pun bukan aku yang mengalami keapesan tetap saja seringkali jika ada aku, keapesan itu terjadi.
            Aku tergopoh-gopoh memasuki kelas sambil membawa helm abu-abu kesayanganku. Sebentar lagi bel sekolah berdengung panjang pertanda seluruh siswa harus sudah duduk manis di dalam kelas. Langsung aku menuju bagian belakang kelas, tempat lemari helm bersemayam di sana.
Di sekolahku setiap kelas memang disediakan satu lemari untuk menyimpan berkas. Namun sepertinya lemari itu sudah beralih fungsi sebagai penyimpanan helm para siswa. Sudah banyak kasus kehilangan helm yang terjadi di sekolahku, karena itulah kami tidak mau mengambil resiko dengan membiarkan helm kami berada di motor.
Aku menatap lemari itu dengan bingung, tak biasanya lemari itu penuh dengan helm. Kalaupun full biasanya aku tetap dapat tempat. Hanya beberapa anak yang membawa helmnya ke kelas.  
            Kulihat ada satu helm asing yang sudah nangkring di laci kedua tempat biasa aku meletakkan helm. Helm itu berwarna putih dengan hiasan-hiasan koran yang seolah-olah ditempel di helm itu, kalau dilihat sekilas sih memang seperti koran tetapi kalau diperhatikan dengan seksama, ternyata itu gambar tengkorak. Gubrak!!
            “Ini helm siapa yaa??” tanyaku bertepatan dengan bel sekolah yang akhirnya berbunyi. Beberapa temanku yang baru saja dari kantin memasuki kelas. Kuulangi sekali lagi pertanyaanku karena tak ada sahutan.
            Teman sebangkuku melihat ke arahku. Ia baru saja datang dari kantin untuk sarapan. Sambil cengar-cengir Ia mengangkat tangannya tanpa bersuara. Aku langsung sadar kalau itu helmnya. Kutaruh helmku dilantai tak peduli dengan tempat helmku yang sudah ditempati. Aku berjalan kearahnya sekaligus juga menempati bangkuku.
            “Cieeee… helm baru nih El,” godaku padanya. Aku tak tersinggung tempat mangkal helmku diambil olehnya. Pendatang baru harus dihormati. Ceilaah..
            “Ah enggak kok.., baru lihat kali. Belinya udah dari kemarin,” katanya merendah.
            Aku hanya tersenyum jahil. El pasang tampang cuek walaupun sebenarnya dalam hati Ia senang karena helm barunya aku perhatikan. Aku bertanya-tanya padanya mengenai helm itu, belinya dimana, harganya berapa, kenapa pilih itu, dan semua jawabannya adalah senyum dan diam.
            El ini memang sok cool sekali. Akhirnya aku lelah sendiri karena tidak ada sahutan jawaban dari dirinya. Tetapi aku tidak tersinggung dengan sikap El itu, karena dia memang orangnya seperti itu.
            Aku memainkan jemari tangan kananku dan mengetuk-ngetukkannya di meja. Sedangkan tangan kiriku hanya bertopang dagu. Ini sudah satu jam dari jeritan bel masuk sekolah, tetapi belum ada tanda-tanda wali kelas kami yang juga mengajar agama Islam masuk ke dalam kelas. El akhirnya berinisiatif ke kantor memanggil wali kelas kami.
            Ia kembali tanpa membawa seseorang, “Bu Lia sedang opname di rumah sakit, sudah dua minggu ini beliau di rawat. Katanya habis operasi,” katanya memberi pengumuman kepada seisi kelas.
            Semua teman terkejut dan khawatir. Wali kelas kami tercinta. Walaupun bawel dan galak tetapi beliau sangat sayang kepada kami semua. Justru jika tak pernah memarahi kami berarti beliau sudah tak sayang dan tak peduli pada kami.
            Akhirnya kami sekelas berencana menjenguk Bu Lia sepulang sekolah. Supaya aman terkendali, kami menyewa angkot yang sering lalu lalang di depan sekolah kami, namun ternyata kapasitas mobil angkot tidak cukup untuk menampung semuanya. Semua anak cowok memilih naik motor termasuk aku dan El.
            Sampai di rumah sakit, kami melihat wali kelas kami terbaring dengan ceria. Tak ada wajah kesakitan ataupun lemah, bahkan beliau dengan santai memainkan infus yang tentu saja hanya suster yang boleh menghentikan atau mengalirkan cairan infus. Bu Lia menjalani operasi pengangkatan daging yang tumbuh di bagian perutnya dan ternyata Bu Lia sudah masuk rumah sakit sejak kami libur sekolah, tapi tak ada warga sekolah yang mengetahuinya. Baru ketika masa libur sekolah berakhir karena Bu Lia terus-menerus tidak masuk akhirnya semua orang tahu kalau Bu Lia masuk rumah sakit.
            Hari mulai gelap menjelang waktu maghrib. Kami berpamitan pulang pada Bu Lia dan berharap beliau segera sembuh. Aku dan El berpisah dengan teman-teman yang lain, kami berjalan menuju tempat parkiran motor.
            Kali ini giliran aku yang berada di depan menyetir motor. Saat kami sampai di motor, ada sesuatu yang janggal. Helm koran El menghilang. Ada bekas jok yang baru saja di sobek tempat tadi El meletakkan helmnya di dalam jok. Helm El dicuri.
            Kami berdua panik. Bertanya pada petugas pun mereka tak peduli, pandangan mereka mengatakan, urus saja helmmu sendiri, Kami tidak bertanggung jawab atas kehilangan helm. Aku kasihan pada El yang hanya bisa terdiam pasrah. Bagaimana bisa pulang tanpa membawa helm, teman-temanku juga rumahnya jauh dari tempat itu.
            “Gimana ini enaknya? Apa mau nerobos aja?” tanyaku pada El. Ia tampak berpikir dan akhirnya hanya bisa mengangguk. Kulihat angkot teman-teman kami baru saja keluar dari tempat parkir. Kami berdua melambaikan tangan pada mereka.
            El memandang dengan pandangan terkejut, “Yah! Kenapa tadi aku nggak bareng angkot aja, meski sempit kan masih bisa masuk!” katanya menyesal.
            Aku juga baru sadar dengan perkataan El barusan. Oh iya yah, kalau dia naik angkot kan bisa aman tanpa harus ketakutan jika nanti ada patroli polisi. Tapi nasi sudah menjadi bubur, angkot itu sudah melenggang pergi dan hanya menyisakan jejak aspal pada kami yang kebingungan.
            Akhirnya mau tak mau kami berdua mengendarai motor dengan hanya satu helm yang kupakai. Aku juga was was dengan hal ini, yang kami lewati merupakan jalan protokol yang tentu saja harus mengikuti berbagai prosedur keselamatan. Pelan-pelan aku mencoba melewati jalan yang jarang dilalui oleh polisi.
            “Awas To.., ati-ati!!” peringat El. Dia heboh sekali takut ditangkap polisi. Aku tak kalah takut juga. Tangan ini sudah gemetaran sejak tadi.
            Sampai di pusat kotanya Semarang, simpang lima. Kami tidak melewati daerah simpang lima, tetapi melewati salah satu dari simpang tersebut, Jl Pahlawan. Untuk sampai di seberang Jl Pahlawan, kami harus menyebrangi Jl Pahlawan yang banyak polisi berlalu lalang.
            Tanpa helm koran El dengan terpaksa Ia harus berjalan menyebrang jalan dan aku pura-pura naik motor sendirian. Aku melihat kanan-kiri apakah ada polisi yang memperhatikan kami. El juga berjalan mengendap-endap walaupun tentu saja nampak terlihat seperti jalan biasa.
Tiba-tiba ada polisi lewat dengan mengendarai sepeda motor dinasnya. Aku menahan nafas takut dicurigai jika aku baru saja memboncengkan El yang tak menggunakan helm. Polisi itu benar-benar menghampiriku yang menjalankan sepeda motor pelan-pelan. El yang melihatku juga tak kalah panik dan tanpa Ia sadari Ia berdiri mematung.
“Dek standarnya!” kata polisi itu sambil menunjuk besi yang biasa menopang sepeda motor ketika berhenti agar tetap tegak berdiri.
Aku melongo terkejut sekaligus lega. Si Bapak polisi ternyata tidak curiga dengan ulahku yang barusan dan nantinya akan terjadi. Akhirnya El sukses menyebrang, aku menunggu El yang masih berjalan mendekatiku sambil berlari menggendong tas ranselnya. Kasihan juga Ia, gara-gara helm koran semua ini terjadi.
            “Hehehe.. sorry yaa..,” kataku tulus padanya.
            “Ngapain minta maap. Capcus bro…!!” El sudah menemukan kembali keceriaannya.
            Kami sampai sekolah dengan selamat. Aku mengambil motorku yang kutitipkan di sekolah dan El pulang ke rumah tanpa memakai helm koran-nya yang kini sudah berpindah tangan dengan terpaksa.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...