Aku berjalan cepat
meninggalkan Sasa yang terhuyung-huyung mengikutiku. kami berjalan pulang
menuju kos. Aku masih mengingat kejadian menyebalkan tadi. Bagaimana bisa aku
dan Sasa yang harus minta maaf, toh mereka tidak melakukan sesuatu yang buruk.
Hanya bermain di kamera CCTV yang semua orang bisa melakukannya.
“Sudahlah Pi, tadi kan Mas Salim juga sudah minta maaf
sama kita. Dia kan hanya menjalankan tugasnya, kita juga nggak boleh
mengintimidasinya seperti itu. Meminta maaf lebih dulu bukan berarti kita
kalah. Lagipula ini juga bukan kompetisi,” kata Sasa mencoba menenangkanku.
Nafasnya terengah-engah karena mengikuti cara jalanku yang cepat.
Tiba-tiba aku menghentikan langkahku sehingga Sasa yang
berada di belakangku tak kuasa berhenti. Kami bertubrukan di jalan.
“Iiiih!! Apa-apaan sih kamu main nubruk-nubruk aja!”
kataku marah.
“Kamu sendiri yang pake acara berhenti sgala!” kata Sasa
tidak terima.
“Eh.. eh tapi tadi aku keren kaaan??”
“Apanya?!” tanya Sasa masih kesal.
“Akting galakku di depan Mas Salim…” jawabku dengan
cengiran usil.
Aku mengangguk santai. “Iyalah.., masa aku beneran marah
sih. Emang aku salah karena udah main-main. Nyebelin banget pas aku main-main
pencuri itu pasang aksi. Huh! Tapi setidaknya kita kan nggak kena marah dulu
karena aku udah marah-marah duluan. Wkwkwk”
Aku memandang Sasa yang ada di sampingku. Wajahnya mulai
berubah dari merah menjadi ungu merah lagi dan akhirnya merah keunguan. Sorot
matanya tajam memandangku tanpa berkedip. Mulutnya terkunci rapat tak
mengucapkan sepatah katapun mengenai hal yang kulakukan tadi. Aku mencium
gelagat tidak baik pada dirinya.
“Opi..! kamuuuuu..!” suaranya penuh emosi. Aku langsung
ambil langkah seribu sebelum Sasa sempat memukulku dengan tas jinjingnya. Sasa
mengejarku dengan segenap hati dan jiwa raga, kekuatannya luar biasa. Sudah
berkali-kali aku terkena terpaan tasnya.
“Aaaaaa!! Ampun Sa! Ampuuuuunn!!” teriakku sambil
berlarian sepanjang gang. Orang-orang yang berada di luar melihat kami dengan
rasa ingin tahu.
Sasa tidak peduli dengan teriakanku. Ia terus saja
memukuliku sampai kami berada tepat di depan kos. Aku langsung masuk dan
bersembunyi dalam kamar. Nafasku terengah-engah karena harus berlarian. Begitu
juga Sasa yang langsung terduduk di depan tv.
“Kalau kejadian ini terulang lagi! Tak ada ampun bagimu!”
teriak Sasa dari depan TV. Aku bergidik mendengarnya.
Sasa kalau sudah marah memang mengerikan. Aku saja kalah
dengannya, padahal aku paling hobi marah-marah. Aku menghirup udara dalam-dalam.
Nafasku masih saja terengah-engah. Kakiku tiba-tiba merasakan linu yang luar
biasa. Bahkan untuk digerakkanpun terasa sakit. Ada apa ini? Apa mungkin
terlalu capek setelah mengikuti kegiatan dan berlari sepanjang jalan. Ah iya..,
mungkin aku harus istirahat. Aku mulai mencoba untuk tidur dan berharap sakit
itu akan hilang ketika aku bangun nanti.
“Hah?! Jam berapa sekarang?!” Terkejut aku menyadari hari
sudah petang. Dina sudah pulang dari kampus tapi tak nampak batang hidungnya. Hanya
tasnya yang menampakkan keberadaannya kalau Ia sudah pulang.
Aku terhuyung keluar kamar. Di ruang TV aku melihat
semuanya sedang berkumpul sambil membaca Al-Qur’an. Aku tak menghiraukan
penampilan acak-acakanku dan ikut bergabung bersama mereka. Aku baru sadar
kalau sekarang sudah jam 8 malam. Lama dong aku tertidur.
Sasa menghampiriku sambil berbisik, “Kamu ini berantakan
banget sih?!”
“Kok pada ngumpul kenapa Sa?” tanyaku tanpa mengindahkan
ucapan Sasa.
“Ini memang sudah kebiasaan di sini, tiap malam kita
kumpul untuk sharing cerita. Tentang agenda di kampus atau bisa juga masalah
pribadi,”
Asik sekali di sini. Di rumah mana pernah ada kegiatan
seperti ini. Aku lebih sering mengurung di kamar tanpa peduli dengan suasana
rumah. Kalau keluar rumah pun aku juga tak mengenal siapa-siapa. Sejak kecil
aku memang terkenal tertutup dan kuper. Berbeda sekali saat aku di luar rumah. Sosokku
berubah menjadi seorang yang periang.
“Dek Opi udah makan apa belum?” tanya Mbak Ita lembut. Aku
hanya menggeleng, nyawaku belum terkumpul dengan baik jadi tak banyak bicara.
Hehehe
“Makan dulu yuk! Tadi mbak beliin nasi rames, mbak nggak tahu
kesukaan Dek Opi tapi moga suka ya.. Ini!” Mbak Ita menyodorkan sebungkus nasi.
“Makasih mbaak,” balasku dengan riang gembira.
Orang-orang di sini baik-baik banget. Padahal aku dan
Sasa belum terlalu mengenal mereka, tapi mereka welcome dengan kami yang hanya
pendatang sementara. Bahkan kami diberi tinggal gratis di sini. Wah bisa betah
deh di sini.
Aku membuka nasi rames itu. Lidahku sudah berair
membayangkan menu lezat di dalamnya. Rasa laparku menggelegar tak ada kompromi,
maklum saja aku belum makan dari siang. Rasanya memang seperti orang puasa
padahal aku nggak puasa.
Nasi telah terbuka. Aku mendelik terkejut. Sasa yang juga
melihat nampak kasihan padaku.
4 coretan:
Bagus..bagus...tapi ukh tulisannya terlalu gelap jadi agak susah dibaca, alngkah lebih baiknya hurufnya warna cerah, putih misalnya...@_@
ditunggu cerita selanjutnya....
Bagus..bagus...tapi ukh tulisannya terlalu gelap jadi agak susah dibaca, alngkah lebih baiknya hurufnya warna cerah, putih misalnya...@_@
ditunggu cerita selanjutnya....
jazakillah ukh.. :)
itu sbnrnya backgroundnya putih kok, kalo keliatan ungu tua mungkin krna loading na blm selesai, biasanya aku jg kyk gtu soalnya.. hehe
Kenapa makanannya?
Posting Komentar