Semua yang ada di situ
adalah makanan pedas. Sambal, pare, daun singkong, bahkan lauknya pun telur
pedas. Aku benar-benar lemas melihat menu itu. Rasanya ingin menangis
membayangkan aku memakan itu semua. Tapi kalau tidak dimakan aku nggak enak
dengan Mbak Ita yang dengan baik hati membelikanku.
Sasa menatapku kasian. Sejak kecil aku memang paling anti
dengan makanan pedas. Apalagi sambal, aku paling menghindari itu. Padahal orang
Jawa notabene menyukai masakan pedas, entah aku tidak. Mungkin aku bukan Jawa
tulen. Haha
Mbak Ita menatap ekspresiku yang kesakitan, “Kenapa dek?
Nggak suka sama lauknya ya?”
Aku hanya bisa tersenyum pasrah dan mencoba melahap
makanan itu. Sasa memalingkan muka melihat wajah minta tolongku. Ia juga tidak
berani bilang kalau aku nggak suka makanan pedas.
Makanan ini benar-benar membakar lidahku. Satu suapan
saja sudah membuat seluruh mulutku berteriak panas. Untung Sasa cekatan
mengambilkanku air minum. Aku memakan suap demi suap sambil dipandangi oleh
Mbak Ita yang tersenyum tulus karena pikirnya makanan itu adalah yang kusuka.
Keringatku banjir membasahi bajuku yang kupakai sejak
pagi. Sudah gitu aku juga belum mandi. Menambah sedap aroma tubuhku. Mataku
berair menahan rasa pedas dan ketakberdayaanku untuk menolak makanan itu
Mbak Ita menatapku dengan pandangan heran. Sasa langsung
menjelaskan pada Mbak Ita, “Dia itu kepedesan mbak, makanya sampai nangis
gitu.”
Aku sudah tak kuat lagi. Kubawa makanan itu ke belakang
dan aku langsung mengambil air minum satu gelas penuh. Mbak Ita dan Sasa
terkejut melihat tindakanku. Sasa buru-buru menjelaskan, “Opi itu pemalu mbak,
makanya Ia langsung ke belakang biar nggak kelihatan banyak orang kalau dia
menangis.”
Mbak Ita ber’ooo’ ria. Ia memahami penjelasan Sasa dan
tidak berusaha menyusulku. Sasa malah yang sekarang berdiri dan menghampiriku.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya khawatir.
“Gila Sa! Sumpah ya ini makanan pedes banget! Nggak kuat
aku makannya! Udah aku buang sekarang! Gila! Bener-bener Gila!” umpatku.
“Husy! Jangan mencela makanan gitu. Pamali tahu. Lagipula
itu kan pemberian Mbak Ita yang perhatian sama kamu karena kamu belum makan,
sekarang malah di buang”
“Ya ampun Sa! Tahu sendiri aku nggak doyan makanan pedes,
apalagi ini ada sambalnya juga. Bisa mati berdiri aku!” Aku mengipasi mulutku
yang masih terasa panas terbakar. Air minum di sampingku sudah kandas dari
tadi, air di galon pun juga sudah habis. Makin membara saja ini mulutku tak ada
air.
Sasa tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Aku makin kesal
melihat tingkahnya.
“Ini anak! Kok malah ketawa sih?!”
“Kamu percaya yang namanya kuwalat nggak? Mungkin ini
balasan dari Allah karena hari ini kamu udah ngerjain aku sama Mas Salim,
hahaha” Sasa langsung lari menghindar melihatku sudah mengacungkan tangan
hendak menjitaknya.
Mbak Ita melihat Sasa dengan heran, “Kamu kenapa Sa?
Dateng dari belakang kok ketawa lebar gitu?”
Sasa masih tertawa tak tertahan, “Itu si Opi konyol mbak,
hahaha.” Sasa langsung pergi ke kamar tanpa bermaksud menjelaskan, meninggalkan
orang-orang di ruang TV yang bertanya-tanya.
Paginya terjadi kehebohan di kamar mandi. “Piiii!! Cepetan
doong!! Nanti kita telat!!” teriak Dina sambil menggedor pintu kamar mandi.
“Bentar Din! Masih mules nih..,” jawabku sambil menahan
rasa sakit di perut. Dina menggerutu tak jelas dan tetap menyuruhku untuk
segera.
Aku keluar dari kamar mandi dengan lunglai sambil
memegangi perut. Dina menatapku kasihan tapi Ia tak bisa membantuku karena Ia
juga harus mandi agar tidak terlambat upacara 17 Agustus.
Sasa menghampiriku di dalam kamar. “Kamu nggak apa-apa?”
tanyanya khawatir. Aku hanya menggeleng lemah. Gara-gara makanan semalam
sekarang aku harus merasakan sakit perut yang luar biasa. Disertai diare pula.
Aduuuh. “Nggak usah berangkat dulu aja gimana? Lagian tempat upacaranya juga
jauh,” saran Sasa.
“Aku nggak apa-apa kok Sa, ini kan hari kedua kita kuliah.
Kalau aku udah nggak masuk. Apa kata dunia!” kataku mencoba tabah.
Sasa tersenyum dan mengangguk. “Ya sudah kalau gitu. Kamu
buruan siap-siap gih. Kita kan kumpul di FBS dulu sebelum berangkat ke lapangan
upacara.”
Aku mengganti pakaianku dengan baju hitam putih ala guru
PPL. Tak lupa mengenakan ikat pinggang dan menyiapkan kaos kaki putih. Perutku
sudah mulai bersahabat lagi. Aku pun dengan riang gembira bersegera
berangkat.Sasa dan yang lainnya sudah menungguku di belakang. Aku keluar kos
dan mengenakan sepatuku.
Tapi tiba-tiba aku berlari masuk ke kos, “Tunggu
sebentar!” teriakku dari dalam. Semua orang heran melihat tingkahku dan
serempak melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 06.00.
2 coretan:
Terus, dianya jawab: "Iya, ada apa? Mau saya tunggu sebentar atau tunggu sekarang? Hehehehe..."
salaaaah .... :D
Posting Komentar