Pages

Minggu, 20 Mei 2012

[CERBUNG] Takdir Abal-Abal Episode 6


http://f0.pepst.com/c/1A4953/182768/ssc3/home/098/salik/albums/renung.jpg_480_480_0_64000_0_1_0.jpg
            Aku berjalan tak tentu arah di dekat kampusku. Mega mulai menyapa langit di atasku. Tampak sedikit kilatan yang menggemuruh tepat di kepalaku. Tak kuhiraukan suasana mendung ini, aku terus berjalan hingga sampai pada suatu danau yang sepi. Di tengahnya terperangkap sebuah gazebo untuk tempat orang-orang bisa beristirahat atau sekedar bercengkrama sambil memandang alam sekitar yang cukup asri. Tempat itu memang sering dijadikan tempat pertemuan terbuka untuk para mahasiswa. Entah dalam rangka kegiatan apa, tempat itu cukup nyaman dijadikan tongkrongan para mahasiswa sekedar melepas lelah atau penat.
            Gerombolan capung riang gembira berterbangan di atas perairan. Mereka beterbangan bebas tanpa takut terjatuh. Memori belasan tahun tiba-tiba muncul. Kala itu aku berusia 8 tahun, usiaku tentu saja masanya bermain. Aku senang bermain di desa bersama kakak sepupuku di sana. Kami menangkap capung di depan rumah. Banyak sekali.
            “Itu mas, tangkap yang itu!!” teriakku kegirangan. Kakakku langsung dengan sigap menangkap capung yang kutunjuk tanpa menyakitinya. Aku takut-takut memegang sayapnya.
            “Nggak apa-apa, itu nggak nggigit kok,” ucap Mas Dede dengan senyum menenangkan. Aku semakin berani memegang bagian capung yang lain. Aku perhatikan lekuk tubuh capung itu, terbayang helikopter yang melayang berawal dari inspirasi capung itu. “Coba kamu yang nangkap dek!” Mas Dede menantangku.
            Aku merentangkan tanganku berharap ada capung yang lewat di dekat tanganku. Tapi ternyata itu tak mudah. Alhasil aku nihil mendapatkan capung. Kami berdua tertawa lepas menertawakan kebodohanku yang tak bisa menangkap capung.
            Selang 2 tahun aku mendapat berita kalau Mas Dede dan adiknya pindah ke Jakarta mengikuti orang tua mereka. Aku sedikit sedih karena tak ada lagi yang menemaniku bermain ketika aku di desa. Aku tak pernah mendengar kabarnya lagi setelah itu. Tapi tiba-tiba muncul berita kalau Mas Dede sudah tiada. Aku sedikit tak percaya dengan hal itu. Berita ini terlalu mendadak dan tak nyata. Tapi fakta berkata lain Mas Dede memang benar tiada.
            Aku memandangi capung itu lagi. Kapankah aku mati? Apakah aku siap menghadapi kematian itu? Bagaimana aku mati?
            “Opi!!!” teriak seseorang memanggilku dari kejauhan.
            Lamunanku membuyar mendengar namaku dipanggil. Aku mencari-cari sumber suara yang memanggilku. Ah! Di sana rupanya. Sasa melambaikan tangannya mengajakku untuk shalat ashar di masjid samping danau. Kami memang janjian shalat di sana setelah acara ospek usai. Sekalian mau kenalan sama masjid. Hehehe
            “Ngapain kamu disitu?” tanya Sasa.
            Aku nyengir lebar, “Nggak apa-apa, Cuma menenangkan pikiran”
            “Ceilah pake acara menenangkan pikiran, emang ada apa Bu?” tanya Sasa sambil tertawa. Aku tak mungkin menceritakan pikiranku tadi pada Sasa. Bisa merusak suasana bahagia yang tercipta sekarang.
            “Ada deeeh..,” jawabku membuatnya penasaran. Lalu aku menarik tangan Sasa untuk segera masuk ke masjid. Sejenak aku teringat lamunanku tadi, tapi aku membiarkannya saja berlalu di hempas angin sepoi yang sedang bertiup.
            Kami masuk ke dalam masjid. Interiornya tidak ada perubahan sama sekali sejak terakhir kami ke sini saat masih SMA. Pintu masuk untuk jamaah perempuan sedikit menjorok ke bawah tanah. Tempat wudhu ada di samping mengarah ke danau. Dari kejauhan memang tampak sedikit pemandangan danau.
            “Eh ada CCTVnya tuh, jangan usil kamu!” kata Sasa melihatku yang tidak bisa diam melihat-lihat sekeliling. Membuat curiga orang yang tidak tahu tujuanku.
            “Haa? Iya tho? Mana-mana?” tanyaku sambil celingak-celinguk mencari CCTVnya.
            “Tuh didekat loker,” kata Sasa tanpa menunjuk atau menatap ke arah CCTV. Ia takut kalau mukanya terekam di CCTV dan justru malah dicurigai melakukan sesuatu yang aneh.
            Aku masih mencari CCTV itu. Ooo.., rupanya di atas loker dekat dengan pintu masuk tempat wudhu. Aku mengatur jarakku dengan CCTV sehingga akan terlihat jelas wajahku, Sasa melihatku dengan pandangan heran sekaligus penasaran. “Halooo.., Assalamu’alaikum.. namaku Opi, aku mahasiswa baru di sini looh. Kalau dia namanya Sasa, dia juga mahasiswa baru di sini. Kami sudah berteman sejak SD kelas 1. Keren kaan..”
            Sasa terbelalak memandangku yang benar-benar kampungan. Seperti baru saja mengenal apa itu CCTV. Bukannya menghindar malah aku berbicara sendiri di depan CCTV. Sasa segera menarikku untuk segera berwudhu.
            “Kamu ini apa-apaan sih?!”
            Aku tertawa terbahak-bahak melihat Sasa yang merah padam antara malu dan kesal melihat tingkahku.
            “Biar rada terkenal dikitlah Sa..,” jawabku santai.
            “Ya tapi kan kita bisa diketawain sama orang yang lagi jaga CCTV,”
            “Haa? Bisa gitu tho?” tanyaku polos.
            Sasa langsung menjitak kepalaku. “Kamu ini bloon apa gimana sih? Aduuuuh!!” Sasa masih panik mengingat ulahku.

3 coretan:

ma_asma mengatakan...

hahahha...
ngakak baca bagian terakhir cerita ini :D

ooppie^,^vie mengatakan...

wehehe.. ngakak lagi kelanjutan chapter 7 ma'..

Falzart Plain mengatakan...

Mas Dede itu kakaknya? *bingung*
Trus, kenapa Mas Dedenya ngikut orangtuanya? Jadi nggak saudaraan? Atau gimana?

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...