Aku berjalan tak tentu
arah di dekat kampusku. Mega mulai menyapa langit di atasku. Tampak sedikit
kilatan yang menggemuruh tepat di kepalaku. Tak kuhiraukan suasana mendung ini,
aku terus berjalan hingga sampai pada suatu danau yang sepi. Di tengahnya
terperangkap sebuah gazebo untuk tempat orang-orang bisa beristirahat atau
sekedar bercengkrama sambil memandang alam sekitar yang cukup asri. Tempat itu
memang sering dijadikan tempat pertemuan terbuka untuk para mahasiswa. Entah
dalam rangka kegiatan apa, tempat itu cukup nyaman dijadikan tongkrongan para
mahasiswa sekedar melepas lelah atau penat.
Gerombolan capung riang gembira berterbangan di atas
perairan. Mereka beterbangan bebas tanpa takut terjatuh. Memori belasan tahun
tiba-tiba muncul. Kala itu aku berusia 8 tahun, usiaku tentu saja masanya
bermain. Aku senang bermain di desa bersama kakak sepupuku di sana. Kami
menangkap capung di depan rumah. Banyak sekali.
“Itu mas, tangkap yang itu!!” teriakku kegirangan.
Kakakku langsung dengan sigap menangkap capung yang kutunjuk tanpa
menyakitinya. Aku takut-takut memegang sayapnya.
“Nggak apa-apa, itu nggak nggigit kok,” ucap Mas Dede
dengan senyum menenangkan. Aku semakin berani memegang bagian capung yang lain.
Aku perhatikan lekuk tubuh capung itu, terbayang helikopter yang melayang
berawal dari inspirasi capung itu. “Coba kamu yang nangkap dek!” Mas Dede
menantangku.
Aku merentangkan tanganku berharap ada capung yang lewat
di dekat tanganku. Tapi ternyata itu tak mudah. Alhasil aku nihil mendapatkan
capung. Kami berdua tertawa lepas menertawakan kebodohanku yang tak bisa
menangkap capung.
Selang 2 tahun aku mendapat berita kalau Mas Dede dan
adiknya pindah ke Jakarta mengikuti orang tua mereka. Aku sedikit sedih karena
tak ada lagi yang menemaniku bermain ketika aku di desa. Aku tak pernah
mendengar kabarnya lagi setelah itu. Tapi tiba-tiba muncul berita kalau Mas
Dede sudah tiada. Aku sedikit tak percaya dengan hal itu. Berita ini terlalu
mendadak dan tak nyata. Tapi fakta berkata lain Mas Dede memang benar tiada.
Aku memandangi capung itu lagi. Kapankah aku mati? Apakah
aku siap menghadapi kematian itu? Bagaimana aku mati?
“Opi!!!” teriak seseorang memanggilku dari kejauhan.
Lamunanku membuyar mendengar namaku dipanggil. Aku
mencari-cari sumber suara yang memanggilku. Ah! Di sana rupanya. Sasa
melambaikan tangannya mengajakku untuk shalat ashar di masjid samping danau.
Kami memang janjian shalat di sana setelah acara ospek usai. Sekalian mau
kenalan sama masjid. Hehehe
“Ngapain kamu disitu?” tanya Sasa.
Aku nyengir lebar, “Nggak apa-apa, Cuma menenangkan
pikiran”
“Ceilah pake acara menenangkan pikiran, emang ada apa
Bu?” tanya Sasa sambil tertawa. Aku tak mungkin menceritakan pikiranku tadi
pada Sasa. Bisa merusak suasana bahagia yang tercipta sekarang.
“Ada deeeh..,” jawabku membuatnya penasaran. Lalu aku menarik
tangan Sasa untuk segera masuk ke masjid. Sejenak aku teringat lamunanku tadi,
tapi aku membiarkannya saja berlalu di hempas angin sepoi yang sedang bertiup.
Kami masuk ke dalam masjid. Interiornya tidak ada
perubahan sama sekali sejak terakhir kami ke sini saat masih SMA. Pintu masuk
untuk jamaah perempuan sedikit menjorok ke bawah tanah. Tempat wudhu ada di
samping mengarah ke danau. Dari kejauhan memang tampak sedikit pemandangan
danau.
“Eh ada CCTVnya tuh, jangan usil kamu!” kata Sasa
melihatku yang tidak bisa diam melihat-lihat sekeliling. Membuat curiga orang
yang tidak tahu tujuanku.
“Haa? Iya tho? Mana-mana?” tanyaku sambil
celingak-celinguk mencari CCTVnya.
“Tuh didekat loker,” kata Sasa tanpa menunjuk atau
menatap ke arah CCTV. Ia takut kalau mukanya terekam di CCTV dan justru malah
dicurigai melakukan sesuatu yang aneh.
Aku masih mencari CCTV itu. Ooo.., rupanya di atas loker
dekat dengan pintu masuk tempat wudhu. Aku mengatur jarakku dengan CCTV
sehingga akan terlihat jelas wajahku, Sasa melihatku dengan pandangan heran
sekaligus penasaran. “Halooo.., Assalamu’alaikum.. namaku Opi, aku mahasiswa
baru di sini looh. Kalau dia namanya Sasa, dia juga mahasiswa baru di sini. Kami
sudah berteman sejak SD kelas 1. Keren kaan..”
Sasa terbelalak memandangku yang benar-benar kampungan.
Seperti baru saja mengenal apa itu CCTV. Bukannya menghindar malah aku
berbicara sendiri di depan CCTV. Sasa segera menarikku untuk segera berwudhu.
“Kamu ini apa-apaan sih?!”
Aku tertawa terbahak-bahak melihat Sasa yang merah padam
antara malu dan kesal melihat tingkahku.
“Biar rada terkenal dikitlah Sa..,” jawabku santai.
“Ya tapi kan kita bisa diketawain sama orang yang lagi
jaga CCTV,”
“Haa? Bisa gitu tho?” tanyaku polos.
Sasa langsung menjitak kepalaku. “Kamu ini bloon apa
gimana sih? Aduuuuh!!” Sasa masih panik mengingat ulahku.
3 coretan:
hahahha...
ngakak baca bagian terakhir cerita ini :D
wehehe.. ngakak lagi kelanjutan chapter 7 ma'..
Mas Dede itu kakaknya? *bingung*
Trus, kenapa Mas Dedenya ngikut orangtuanya? Jadi nggak saudaraan? Atau gimana?
Posting Komentar