Allah itu dekat. Lebih
dekat dari urat leher. Allah akan selalu
bersama hamba yang mengingatnya. Jika kau mendekatkan diri padaNya dengan
merangkak maka Allah akan berjalan mendekatimu. Jika kau berjalan kepadaNya
maka Allah akan mendekatimu dengan berlari.
Aku dan Sasa mencoba untuk lebih dekat pada Allah. Kami
bermunajat dalam shalat fardhuNya mengharap keridhoan Allah.
Selesai shalat aku dan Sasa bercengkrama membahas ospek
hari pertama di emperan masjid yang sejuk.
“Wah! Senior di kelompokku galaknya terkesan leuubay!
Wajahnya aja sendu gitu, aneh deh kalau dia galak. Anak-anak aja pada tahu..
haha,” kata Sasa menertawakan ekspresi kakak kelasnya tadi.
“Di kelompokku, mbaknya wajahnya lembut tapi kalau
nyiapin galaknyaaaa.., ckckck,” kataku menyesali.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki muncul dari pintu samping. Area di sini merupakan area
khusus perempuan. Kami terkejut melihat dia yang masuk secara langsung tanpa
permisi. Dan semakin membuat terkejut lagi karena dia mendekati kami.
“Assalamu’alaikum, maaf mengganggu mbak,” kata lelaki
itu.
Kami saling pandang antara tidak mengenal, terkejut, dan
heran. Salamnya tak ada sahutan sama sekali dari kami berdua.
“Assalamu’alaikuuum..,” ucap lelaki itu mengulangi salam
karena melihat tak ada respon dari kami.
“Eh? Wa’alaikummussalam. Ngng.. ada apa ya?” jawab Sasa
setelah lepas dari keterkejutannya. Aku masih saja hang dengan semua itu.
“Bisa ikut saya sebentar ke ruang sekretariat masjid?”
“Memangnya ada apa?” tanyaku. Akhirnya aku terlepas juga
dari kebengonganku melihat orang itu. Hahaha
“Nanti saya jelaskan. Tolong ini mendesak,” kata lelaki
itu dengan sedikit paksaan. Mau tidak mau kami mengikuti orang itu ke ruang
sekretariat.
Ruangan itu kecil saja. Seperti ruangan dalam kamarku di
rumah. Tetapi ternyata ruang sekretariat tidak hanya itu. Dibalik tembok
tersebut ada beberapa layar kaca yang memperlihatkan pemandangan dalam masjid.
Oow.., ternyata itu ruang CCTV.
Ruangan itu hening. Hanya ada kami bertiga di dalamnya.
Di bagian bawah meja nampak beberapa kaset video dengan label harinya.
Sepertinya itu rekaman CCTV dalam satu minggu ini. Setiap harinya membutuhkan
10 kaset untuk merekam semua kejadian dalam masjid.
Sasa mencengkram tanganku kuat-kuat. Ia merasakan sesuatu
yang aneh dengan hal ini. Tidak mungkin ada orang yang tiba-tiba datang
mengajak berbicara dan kemudian menempatkan mereka pada ruang CCTV. Aku jadi
ingat hal yang kulakukan sebelum shalat ashar.
Lelaki
itu mempersilahkan kami duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut. “Maaf kalau
mengganggu waktu anda, tapi tadi ada insiden pencurian. Dan dikamera terlihat
anda berdua sedang memperhatikan kamera ini,” katanya sambil menunjuk sebuah
layar kaca. Di situ tampak pemandangan loker arena tempat sholat, tempat aku
dan Sasa berbicara konyol tadi.
“Apakah
kami dituduh sebagai pencuri?” tanyaku mulai berasumsi padanya. “Anda
sebenarnya siapa menuduh kami dengan hal bodoh ini? Kami tidak melakukan apapun
tadi,” ucapku lagi dengan kesal.
“Oh
ya, maaf saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Salim, saya mahasiswa
jurusan Bahasa Inggris semester 5. Saya bukannya menuduh kalian, tapi saya
hanya ingin kroscek. Karena saat itu wajah kalian yang terlihat jelas di kamera
dan di belakangnya tampak pencuri sedang beraksi. Siapa tahu kalian mengenal
pencuri itu…” kata Salim mencoba menjelaskan.
“Jadi
anda mencurigai kami berkomplot dengan pencuri itu?” tanyaku menyudutkan. Sasa
mencubit lenganku untuk berkata lebih sopan.
Salim
ternganga mendengar ucapanku. “Ini orang mikirnya kok yang jelek-jelek terus
sih? Astaghfirullah..” kata Salim dalam hati. Ia menghela nafas dan mencoba
untuk bersabar sekaligus mencoba menjelaskan. “Bukan begitu, saya hanya
mengkroscek kebenarannya. Bukan menuduh anda berdua. Saya hanya ingin bertanya
apakah anda melihat orang yang melakukannya? Karena pada saat itu tak nampak
jelas siapa pencuri, gambar anda dan teman anda menghalangi pencuri itu.”
Sebelum
aku kembali mencoba berbicara, Sasa mendahuluiku, “Kami tidak mengenal pencuri
itu, kami mahasiswa di sini jadi belum banyak mengenal orang. Kami mohon maaf
kalau ulah kami tadi ternyata membantu pencuri untuk melakukan aksinya. Tapi
kami benar-benar tidak ada hubungannya dengan pencuri itu dan kami tidak
melakukan apapun selain beribadah. Kami mohon maaf,” ucap Sasa panjang lebar
menjelaskan. Salim dan aku terlihat speechless bagaimana menanggapi ucapan Sasa
yang berterus terang.
“Hei!!
Kenapa kau harus minta maaf?! Kita kan nggak salah!” teriakku pada Sasa. Salim
hanya mendesah. Sasa memelototiku untuk tetap diam.
1 coretan:
Waw, karakternya si Opi... *speechless*
Posting Komentar