Pages

Jumat, 25 Mei 2012

[CERBUNG] Takdir Abal-Abal Episode 7


Allah itu dekat. Lebih dekat dari  urat leher. Allah akan selalu bersama hamba yang mengingatnya. Jika kau mendekatkan diri padaNya dengan merangkak maka Allah akan berjalan mendekatimu. Jika kau berjalan kepadaNya maka Allah akan mendekatimu dengan berlari.
            Aku dan Sasa mencoba untuk lebih dekat pada Allah. Kami bermunajat dalam shalat fardhuNya mengharap keridhoan Allah.
            Selesai shalat aku dan Sasa bercengkrama membahas ospek hari pertama di emperan masjid yang sejuk.
            “Wah! Senior di kelompokku galaknya terkesan leuubay! Wajahnya aja sendu gitu, aneh deh kalau dia galak. Anak-anak aja pada tahu.. haha,” kata Sasa menertawakan ekspresi kakak kelasnya tadi.
            “Di kelompokku, mbaknya wajahnya lembut tapi kalau nyiapin galaknyaaaa.., ckckck,” kataku menyesali.
            Tiba-tiba ada seorang laki-laki muncul dari  pintu samping. Area di sini merupakan area khusus perempuan. Kami terkejut melihat dia yang masuk secara langsung tanpa permisi. Dan semakin membuat terkejut lagi karena dia mendekati kami.
            “Assalamu’alaikum, maaf mengganggu mbak,” kata lelaki itu.
            Kami saling pandang antara tidak mengenal, terkejut, dan heran. Salamnya tak ada sahutan sama sekali dari kami berdua.
            “Assalamu’alaikuuum..,” ucap lelaki itu mengulangi salam karena melihat tak ada respon dari kami.
            “Eh? Wa’alaikummussalam. Ngng.. ada apa ya?” jawab Sasa setelah lepas dari keterkejutannya. Aku masih saja hang dengan semua itu.
            “Bisa ikut saya sebentar ke ruang sekretariat masjid?”
            “Memangnya ada apa?” tanyaku. Akhirnya aku terlepas juga dari kebengonganku melihat orang itu. Hahaha
            “Nanti saya jelaskan. Tolong ini mendesak,” kata lelaki itu dengan sedikit paksaan. Mau tidak mau kami mengikuti orang itu ke ruang sekretariat.
            Ruangan itu kecil saja. Seperti ruangan dalam kamarku di rumah. Tetapi ternyata ruang sekretariat tidak hanya itu. Dibalik tembok tersebut ada beberapa layar kaca yang memperlihatkan pemandangan dalam masjid. Oow.., ternyata itu ruang CCTV.
            Ruangan itu hening. Hanya ada kami bertiga di dalamnya. Di bagian bawah meja nampak beberapa kaset video dengan label harinya. Sepertinya itu rekaman CCTV dalam satu minggu ini. Setiap harinya membutuhkan 10 kaset untuk merekam semua kejadian dalam masjid.
            Sasa mencengkram tanganku kuat-kuat. Ia merasakan sesuatu yang aneh dengan hal ini. Tidak mungkin ada orang yang tiba-tiba datang mengajak berbicara dan kemudian menempatkan mereka pada ruang CCTV. Aku jadi ingat hal yang kulakukan sebelum shalat ashar.
Lelaki itu mempersilahkan kami duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut. “Maaf kalau mengganggu waktu anda, tapi tadi ada insiden pencurian. Dan dikamera terlihat anda berdua sedang memperhatikan kamera ini,” katanya sambil menunjuk sebuah layar kaca. Di situ tampak pemandangan loker arena tempat sholat, tempat aku dan Sasa berbicara konyol tadi.
“Apakah kami dituduh sebagai pencuri?” tanyaku mulai berasumsi padanya. “Anda sebenarnya siapa menuduh kami dengan hal bodoh ini? Kami tidak melakukan apapun tadi,” ucapku lagi dengan kesal.
“Oh ya, maaf saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Salim, saya mahasiswa jurusan Bahasa Inggris semester 5. Saya bukannya menuduh kalian, tapi saya hanya ingin kroscek. Karena saat itu wajah kalian yang terlihat jelas di kamera dan di belakangnya tampak pencuri sedang beraksi. Siapa tahu kalian mengenal pencuri itu…” kata Salim mencoba menjelaskan.
“Jadi anda mencurigai kami berkomplot dengan pencuri itu?” tanyaku menyudutkan. Sasa mencubit lenganku untuk berkata lebih sopan.
Salim ternganga mendengar ucapanku. “Ini orang mikirnya kok yang jelek-jelek terus sih? Astaghfirullah..” kata Salim dalam hati. Ia menghela nafas dan mencoba untuk bersabar sekaligus mencoba menjelaskan. “Bukan begitu, saya hanya mengkroscek kebenarannya. Bukan menuduh anda berdua. Saya hanya ingin bertanya apakah anda melihat orang yang melakukannya? Karena pada saat itu tak nampak jelas siapa pencuri, gambar anda dan teman anda menghalangi pencuri itu.”
Sebelum aku kembali mencoba berbicara, Sasa mendahuluiku, “Kami tidak mengenal pencuri itu, kami mahasiswa di sini jadi belum banyak mengenal orang. Kami mohon maaf kalau ulah kami tadi ternyata membantu pencuri untuk melakukan aksinya. Tapi kami benar-benar tidak ada hubungannya dengan pencuri itu dan kami tidak melakukan apapun selain beribadah. Kami mohon maaf,” ucap Sasa panjang lebar menjelaskan. Salim dan aku terlihat speechless bagaimana menanggapi ucapan Sasa yang berterus terang.
“Hei!! Kenapa kau harus minta maaf?! Kita kan nggak salah!” teriakku pada Sasa. Salim hanya mendesah. Sasa memelototiku untuk tetap diam.

1 coretan:

Falzart Plain mengatakan...

Waw, karakternya si Opi... *speechless*

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...